Mencinta dan Menua bersama Endah n Rhesa
“Penuh cinta” mungkin adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan duo musisi ini. Tahun ini, Endah n Rhesa akan merayakan ulang tahun pernikahan ke-10 dan tahun ke-15 perjalanan bermusik mereka. Sebuah album sedang dipersiapkan untuk dirilis Juli ini untuk merayakan tahun-tahun gemilang mereka. Ada banyak hal yang akan mereka tampilkan di album ini. Kami berkesempatan untuk duduk dan membicarakan tentang album, bagaimana menjaga romansa selama bertahun-tahun bersama, dan kemungkinan mereka membuat musik dengan cita rasa K-Pop.
Ada bocoran untuk album kelima ini?
Ini menarik banget. Kami selalu berusaha untuk menghadirkan sesuatu yang berbeda dari album-album sebelumnya. Album kelima ini seperti bagaimana interpretasi kami menanggapi apa yang sedang in sekarang ini. Baik dalam hal musik atau tema. Dan kami mencoba tetap melihatnya dari kacamata Endah n Rhesa.
Judul albumnya Regenerate dan semua masih dikerjakan sendiri. Direkam di rumah, di-mixing, mastering, dan digambar covernya oleh mas Rhesa supaya irit budget. Tapi selain itu sih sebenernya karena kami senang melakukannya sendiri dan kurang lebih ada 10 track, sembilan lagu full dan satu interlude. Ada beberapa teman kami yang ikut nyanyi di lagu ini untuk nambah-nambah suara.
Rasa album ini sih, sebenarnya kalau mengikuti albumnya Endah n Rhesa, ini seperti album pertama kami sih sebetulnya. Jadi mungkin ada sound yang baru, terus ada suara vokal yang nggak hanya didominasi sama suaraku, terus juga mungkin lebih groovy dan energetic. Penginnya sih albumnya seperti itu, kurang lebih.
Apakah kalian mempertimbangkan exploring warna suara baru untuk album kelima ini ataukah masih segaris dengan album-album sebelumnya?
Rhesa (R) Karena temanya regenerate, ada tambahan instrumen yang sekarang kami injak di kaki kalau manggung. Jadi ada kick dan snap atau clap yang kita mainkan berdua.
Endah (E) Jadi kami coba untuk memanfaatkan kaki-kaki kita untuk ikut main. Untuk suara perkusi, kami gunakan hentakan kaki saat live, dan kami mencoba untuk mentransfer ide itu dalam musik rekaman kami.
Apakah di album ini akan ada kolaborasi seperti waktu sama Andien atau Dialog Dini Hari?
Sepertinya kalau ini sifatnya bukan kolaborasi, ya. Mereka lebih kayak mewarnai. Membantu shouting, membantu nyanyi, dan seperti ikut menyumbangkan suara juga. Jadi kami tuh punya temen-temen di Pamulang, tempat nongkrong kami di EaR House, kafe kami di Tangerang Selatan. Jadi kita dibantuin untuk menyanyi satu lagu sama Karina Kristi. Ada juga Beda, duo yang terdiri dari Dias Betong dan Ario Dakoi, di mana salah satu dari mereka bermain gitar sambil nyanyi, dan yang satunya bermain terompet sambil nyanyi. Lalu kemudian juga ada Budi, vokalis dari Class Meet Journal. Dan ada satu track yang ada mas Aditya Sofyan juga ikut nyanyi.
Tapi sifatnya kita masih seperti ngajak mereka untuk nyanyiin lagu-lagu Endah n Rhesa. Jadi kolaborasi ini bukan secara karya tapi lebih ke “Yuk, yuk, bantuin dong”. Karena kami memang di lingkungan yang sama, terus suka nongkrong, terus mereka juga kayak “Ikut dong, ikut dong”. Jadi, ya udah gitu. Casual banget.
Ceritain dong tentang kolaborasi sama Andien.
Lagu “Everything in Between” itu single yang ditulis Andien untuk adiknya dan pasangannya namanya Diego dan Marlies. Mereka berdua ini bersepeda dari Belanda sampai ke Jakarta. Jadi mereka kurang lebih 11 bulan melakukan perjalanan untuk charity. Dananya akan mereka sumbangkan untuk beberapa tempat seperti shelter hewan, rumah yatim piatu, dan perkebunan organik.
Waktu itu Andien, entah kenapa, mungkin karena dia melihat adiknya bersepeda dia inget Endah dan Rhesa. Kebetulan kami juga suka sepedaan gitu. Kemudian dia terpikir untuk ngajak kolaborasi lagu itu. Yang sebenarnya kita juga belum tahu nih bakal mau bikin kayak apa. Akhirnya ya udah Andien hubungi aku dan mas Rhesa, ngajak ketemuan, dua kali ketemuan.
“Everything in Between” itu sebenarnya lagu kedua. Lagu pertama kami simpan untuk next project. Kami ngerasanya pas denger lagu pertama seperti, “Ini kayaknya ada satu hal yang harus riset nih”. Ketika kita mempersembahkan lagu untuk orang lain, kayaknya perlu riset mendalam. Sebenernya apa sih yang dialami, pengalaman apa yang dia dapatkan gitu. Karena ternyata gak bisa disamakan energinya ketika Diego dan Marlies bersepeda dengan Endah dan Rhesa bersepeda. Mungkin kalau kita bersepeda excitement-nya berbeda, yang seneng-seneng aja. Ternyata Diego dan Marlies nih kontemplatif banget. Perjalanannya tuh ternyata seperti mencari jati diri dan tujuan hidup, mau kemana kita dalam hidup ini, dan rumah itu adalah perjalanan itu sendiri. Jadi ternyata berbeda gitu experience bersepedanya.
Dan setelah riset, muncullah si lagu “Everything in Between” ini dengan mood yang sedikit kelam, tapi mendung, tapi juga ada optimisme. Liriknya juga diadaptasi dari tulisan-tulisannya Diego dan Marlies, tapi memang Andien yang banyak nulis. Akhirnya jadilah lagu everything in between ini.
Ceritain dong proses kalian bikin lagu dari dapet inspirasi sampe akhirnya jadi sebuah lagu.
(R) Kalau lagu kita mencoba untuk tidak mengulang yang sudah kami lakukan. Berusaha mencari tahu sesuatu yang baru karena apa yang belum kita lakukan itu selalu menarik. Prosesnya juga sebenarnya lebih ke memikirkan apa yang ingin kami katakan dulu sih. Apa yang mau kami sampaikan. Misalnya kita mau menyampaikan sesuatu tentang pantai. Berarti apa yang terjadi di pantai itu yang disampaikan.
(E) Setelah itu baru kami memikirkan musik apa yang cocok dengan apa yang mau kami sampaikan. Mood seperti apa yang ingin dibawakan. Itu memang keluar aja. Dan mungkin hal kayak gini yang perlu selalu di-trigger ya ketika bikin lagu atau chemistry aku dan Rhesa saat menggarap sesuatu.
Dalam perjalanan bermusik selama 15 tahun, lagu mana yang menurut kalian paling romantis?
(R) Arti kata romantis itu beda-beda buat kita.
(E) Sebenernya kalau mau dilihat dari sejarahnya sih memang “When You Love Someone” itu adalah lagu pertama yang kami bikin bareng dan itu tahun 2004. Jadi usianya sekarang sudah 15 tahun. Kalau dibilang romantis, mungkin lagunya romantis. Tapi nilai lagu itu sebenarnya buat kami punya sisi historikal yang lebih dari sekadar, “Oh, lagu ini romantis, ya” atau “Liriknya manis, ya” atau “Lagu ini bagus” atau apa gitu. Bagi kami itu mungkin milestone kami yang baru kami sadari di tahun 2009 ketika lagu itu rilis. Ternyata sebegitu kuatnya. Karena dulu lagu ini sekedar, “Yaudah, yuk, kita bikin yuk!” aja. Enggak ada pemikiran kalo itu romansa kami berdua karena sebenarnya lagu itu juga bukan tentang kami berdua. Jadi memang ketika saat itu bikin lagu lebih ke sisi produktif, kami membuat sesuatu, gitu. Jadi mungkin romantisnya di sisi historis itu ya.
(R) Kalo yang aktual, baru-baru ini kami bikin lagu “Menua Bersama” tahun lalu. Isinya tentang kami berdua jadi tua bersama. Itu di tengah-tengah pengerjaan album kelima ini yang packed banget dan saling berhamburan ide. Kami manusia juga, kami bisa tensed juga gitu kan sebagai pasangan. Tapi karena komunikasi yang lancar, alhamdulillah.
(E) “Menua Bersama” mungkin yang paling bisa menyadarkan kembali kalau apa pun yang kami lakukan, mau seberat apapun atau mau setegang apa pun, hubungan ini, baik dalam hal rumah tangga maupun bermusik, ya kami akan tetap jadi teman dekat sampai tua.
Bagaimana kalian mempertahankan keromantisan kalian?
(R) Sebenernya kami tuh gak seromantis itu di luar panggung. Karena kami berteman ya. Masing-masing dari kami menganggap hubungan ini adalah hubungan pertemanan yang sampai mati. Teman hidup, Endah teman hidup saya dan saya teman hidup Endah. Dan di atas panggung itu bisa tercurah lebih karena kita lebih berekspresi ya. Sebenarnya juga agak kode-kodean gitu sih.
(E) Jadi kalau kalian lihat kami bertatapan kadang-kadang bukannya, “Oh I love you so much. I need you,” gak gitu. Tapi lebih ke, “Eh, abis ini berhenti ya, hitungan ke sekian”. Gitu.
(R) Tapi setelah kami lihat berkali-kali di YouTube, itu emang kelihatan romantis juga ternyata.
(E) Sebenarnya tidak ada unsur kesengajaan karena kita feel-nya seperti berteman. Any kind of topic, itu sudah menjadi bagian dari keseharian dan musik itu 90% memenuhi topik-topik pembicaraan kami sehari-hari. Jadi kurang lebih kalau dibilang menjaga sih sebenarnya, ya, karena kami menyadari somehow sampai nanti tua dan mati, nanti aku ya cuma sama Rhesa gitu. Rhesa juga gitu, cuma aku mungkin nanti yang ada di sisinya. Dalam artian, the only person I trust, I depend on, I can count on di saat yang sulit, ya Rhesa.
Akankah Endah n Rhesa mencoba membuat musik bercita rasa Korea?
(R) Menarik sih ya kalau kita bahas tema-tema yang belum pernah kita lakukan seperti Korea dan banyak negara-negara lain yang pengin kita kunjungi. Afrika udah ya, buat album kedua kita banyak menggali musik Afrika. Kalau kami sendiri formulanya ada dua, yang pertama natural. Kayak satu gitar berdua di panggung itu tercipta secara natural waktu wedding reception kami. Ada beberapa gimmick di atas panggung yang memang kami rencanakan gitu. Itu aja sih. Tapi kalau kita memang mengacu ke K-Pop, Japanese Rock, atau Britpop, itu mungkin bisa sih aplikasinya karena instrumen kami cuma kami berdua aja yang pegang. Jadi, anything is possible.
(E) Sebenarnya kita gak pernah menutup preferensi atau kemungkinan terhadap hal yang akan memicu kreativitas. Karena bagi kami, music is our playground, and the stage is our playground. Jadi apapun bisa terjadi, bahkan dangdut pun bisa.
Entah ya, semakin ke sini kita semakin belajar untuk tidak mendiskreditkan genre, tren, dan apa yang sedang “in” atau yang sedang mendunia. Karena pada dasarnya kalau belajar sejarah musik pun sebenarnya perubahan-perubahan itu selalu ada seiring dengan perkembangan sosial budaya, teknologi, hingga kemampuan musisinnya juga. Jadi gapapa gitu. Dan kita juga gak pernah menutup diri untuk adanya sebuah infiltrasi atau input baru untuk musik Endah n Rhesa. Tapi tetap memang Endah n Rhesa adalah Endah n Rhesa. Musik biasanya memang kami produksi berdua. Jadi tetap akan sesuai dengan batas-batas kemampuan kami berdua juga.