Kezia Alaia dan Tantangan dalam Perjalanan yang Diarunginya
Artikel ini awalnya dirilis pada April 2020 di 247 COTTONINK Magazine
Untuk merayakan bulan yang dianggap sebagai bulan emansipasi perempuan di Indonesia, kami akan tampilkan salah satu perempuan mengagumkan di era kita. Temui Kezia Alaia, seorang penulis yang sudah menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi dan saat ini aktif mengatur sebuah platform puisi sambil mengerjakan website sastra yang menerbitkan zine serta berbagai macam tulisan. Kami mengobrol lewat aplikasi perpesanan dengannya di suatu sore sambil melakukan self-quarantine karena pandemi COVID-19 yang masih berlangsung sampai tulisan ini ditayangkan. Baca wawancara kami tentang tulisannya, bagaimana isu perempuan memainkan bagian di kehidupan dan karyanya, dan apa yang ingin dicapai dalam menerima rangsangan visual dan pengalaman estetika.
Apa kabar Kezia? Apakah Kezia juga sedang melakukan karantina mandiri di rumah?
Hai! Ya, sudah dua minggu mengisolasi diri di rumah. Tidak ada yang mengesankan juga.
Bisa ceritakan sedikit tentang diri Kezia?
Hahaha… Ini selalu membingungkan jika ditanya untuk menceritakan tentang siapa saya. Karena secara umum ada banyak hal yang saya lakukan dalam hidup. Saya suka menulis—kebanyakan puisi, esai, dan cerpen. Di 2016, saya menerbitkan buku pertama. Lalu di 2018 mulai mengorganisir platform puisi yang berbasis di Jakarta bernama Paviliun Puisi. Sekarang saya sedang mengerjakan sebuah website sastra dan penerbitan independen bernama NEUE LIB. Selain itu, saya juga bekerja sebagai peneliti di bidang sosial, kultural, dan pasar. Saya juga seorang penerjemah yang saat ini sedang belajar menjadi interpreter.
Apa atau siapa yang membuat Kezia ingin mulai menulis, khususnya puisi sampai akhirnya menerbitkan buku puisi?
Naluriah saja. Orang-orang mungkin tertarik pada bentuk, suara, estetika dan kemudian menjadi seorang illustrator, sound engineer, penyanyi, atau desainer. Untuk saya, itu karena saya tertarik pada ide dan abstraksi.
Apa tema yang paling banyak dituliskan pada puisi Kezia dan seperti apa gaya tulisan puisi Kezia? Adakah pengaruh dari penyair kesukaan yang disintesiskan sehingga menjadi gaya penulisan khas, atau itu terjadi begitu saja?
Tidak ada tema khusus, kebanyakan hanyalah kegelisahan saya saja. Untuk gaya, saya tidak suka memberi label. Pastinya saya tidak suka tulisan puitis tentang senja dan kopi, apapun yang menyebarkan vibe positif dan pseudo-spiritual tanpa pemikiran mendalam dan memiliki kutipan inspirasi yang kosong, atau puisi dengan jargon dan penggunaan kosakata tinggi hanya demi menjadi sebuah puisi saja. Saya juga terganggu dengan tulisan yang menjual narasi kesehatan mental tapi hanya sebagai pameran emosi siap-pakai bagi orang banyak. Untuk saya, tulisan macam itu hanya menjual ide keterkaitan dan menekan tombol sentimental orang-orang dengan cara paling malas tanpa membiarkan mereka berpikir secara kritis dan menggali diri, perasaan, dan preferensi mereka dalam ekspresi. Seperti berjualan tapi yang dijual sesuatu yang tidak bagus untuk orang-orang.
Mungkin itulah sebabnya ide dari anti-poetry menarik untuk saya. Intinya untuk menegasikan konvensi puitis sebuah puisi yang telah diromantisasi oleh budaya populer. Anti-poetry sendiri adalah sebuah mentalitas yang muncul dari banyak tempat. Figur ternama di balik gerakan ini adalah penyair Chile bernama Nicanor Parra, penulis Yunani bernama Elias Petropoulos, dan Hungryalists dari India. Saya suka energi, kemarahan, dan kebencian mereka.
Di samping menantang norma, pentingnya anti-poetry adalah untuk memperkenalkan cara kontemporer dalam menagatakan sesuatu. Menggunakan kosakata dan perumpamaan baru sehingga puisi tidak selalu hanya tentang meromantisasi alam dan imajinasi puitis yang membuat orang-orang berjarak dengan realita mereka. Di luar penyair, saya suka penulis seperti Etgar Keret, Slavoj Žižek, dan Guy Debord yang gaya tulisannya sangat menampilkan diri mereka.
Sebagai perempuan, sebesar apa dukungan keluarga dan lingkungan sekitar mempengaruhi dalam membentuk Kezia menjadi seperti sekarang?
Saya pikir lingkungan sekitar pastilah memberi pengaruh tertentu pada semua orang, tidak hanya perempuan. Pengaruh itu sendiri dapat diidentifikasikan sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Meski begitu jika dipikir lebih jauh, itu semua seperti persamaan. Jika ada aksi pasti akan berujung pada sebuah dampak.
Tantangan seperti apa yang Kezia hadapi sebagai penulis dan pengurus Paviliun Puisi sejauh ini? Bagaimana Kezia menghadapinya?
Tantangan terbesar untuk saya adalah menjadi disiplin. Kurangnya disiplin dapat menyebabkan semua yang saya lakukan jadi tidak berkelanjutan. Di mana hal paling penting untuk mengembangkan segala hal adalah referensi, eksplorasi, dan konsistensi. Konsistensi adalah hal yang cukup menantang untuk saya. Selama ini saya merasa mekanisme personal yang dimiliki untuk menghadapi halangan macam itu adalah untuk menggunakan rasa gengsi. Saya akan merasa malu jika sesuatu tidak bekerja sebagaimana seharusnya. Mengganggu sekali jika Saya tidak berhasil dalam menghadapi tantangan dari dalam diri.
Apakah isu perempuan dan kesetaraan memberikan pengaruh pada karya Kezia? Jika ya, sebesar apa pengaruhnya?
Saya percaya tidak ada namanya pengalaman universal perempuan atau ide tunggal dari sebuah pemberdayaan. Saya pernah menghadiri konferensi perempuan dan politik, G(irls)20 Summit, di Buenos Aires pada 2018. Di sana saya mendengarkan cerita dari para delegasi tentang masalah dan realita para perempuan yang tinggal di negara mereka, dengan perbedaan budaya dan sosial ekonomi jika dibandingkan dengan yang sudah saya ketahui di Indonesia. Saya mempelajari kalau apapun yang saya percaya sebagai pengalaman keperempuanan hanyalah permainan ego di mana saya memproyeksikan nilai, prinsip, dan apapun yang saya pikir benar dan memberdayakan bagi orang lain. Atau dalam kasus ini, ke perempuan lain.
Jadi saya hanya bisa menceritakan realita subyektif dan pengalaman khusus sebagai perempuan dalam tulisan saya. Penting untuk diingat kalau ada banyak dimensi lain yang bermain dalam membentuk realita, hak istimewa, atau opresi selain gender. Seperti dari latar belakang ekonomi, sosial, politik, ras, dan lingkungan seseorang tinggal, dan sekolah apa yang mereka datangi. Saya mencoba sadar untuk tidak bicara mewakili semua atau banyak perempuan karena tidak ada hal yang disebut perempuan tunggal. Jika kita menggeneralisasi semua perempuan maka hal itu menunjukkan kalau pandangan kita dalam feminisme itu kacau. Karena kita lupa kalau ada interseksionalitas dan multidimensionalitas dalam identitas perempuan.
Saya lebih tertarik pada penulis yang tidak hanya menulis tentang perempuan atau tema perempuan. Mereka yang sudah menormalisasi kesetaraan gender tanpa menuliskannya besar-besar lalu membuatnya menjadi slogan pemasaran lain. Jadi ketika mereka menulis sebuah cerita dengan karakter perempuan, laki-laki, atau non-biner, cerita itu sudah memberdayakan.
Ini diterapkan di semua bidang. Pada Paris Fashion Week awal tahun ini, contohnya, Alexander McQueen menampilkan beberapa model plus-size untuk membawakan koleksi Fall/Winter 2020 mereka. Tapi mereka tidak bilang apa-apa soal ini, tidak pamer atau norak. Di Instagram, mereka mengunggah foto Paloma Elsessser dan Jill Kortleve di panggung runway tanpa menyebut sesuatu seperti “Inilah model plus-size kami” atau “women empowerment” atau “girl power”. Hanya hal normal saja. Untuk saya, normalisasi seperti ini perlu, jadi nantinya kita mengharapkan dunia untuk seprogresif itu. Merayakannya adalah hal bagus, tapi lebih bagus lagi mengetahui kalau hal tersebut adalah sebuah normal yang baru.
Isu ini tentu mempengaruhi saya, tapi porsinya seimbang dengan dimensi identitas saya yang lain. Dan saya tidak suka meromantisasinya hingga ke titik hal ini terasa sebagai seperti sebuah gimmick.
Apa yang saat ini Kezia tuju?
Saya ingin lebih sensitif pada estetik dan rangsangan visual. Pagi ini saya baru memulai sebuah kursus online yang materinya ditampilkan dalam sebuah video. Ternyata saya otomatis klik transkripnya dan memilih untuk membaca teks daripada hanya menonton videonya. Setiap menonton film, saya juga fokus pada subtitle daripada visualnya. Saya ingin belajar tentang menerima rangsangan visual dan pengalaman estetik.
Apa selanjutnya dari Kezia? Apakah akan ada buku atau proyek baru?
Akan ada buku baru. Saat ini saya sedang mengerjakan beberapa manuskrip, jadi sekarang saya tidak tahu mana yang harus diselesaikan lebih dahulu hahaha. Nanti akan ada sebuah episode di Problema Nona (produksi Whiteboard Journal) di mana saya akan membicarakan tentang perempuan dan sudut pandang feminis. Dan mungkin saya akan menerbitkan lebih banyak zine dan artikel di NEUE LIB.