Maulana Haidir dan Kehidupannya Sebagai Atlet

Atlet berusia 26 tahun ini adalah kapten dari tim Taekwondo Nasional dan mewakili Indonesia dalam kompetisi perdana Taekwondo Poomsae di Asian Games 2018. Kami duduk bersama Maulana Haidir yang asli Jawa Barat ini untuk mengobrol tentang seni beladiri, kehidupan sehari-hari seorang atlet, kemenangan dan kekalahan.

 

Bagaimana Anda memulai sebagai atlet Taekwondo?

Semua bermula di 1999, ketika saya berusia sembilan tahun karena didorong oleh saudara. Lalu saya sekolah di SKO Ragunan di mana membuat saya semakin serius akan hal ini. Saya mulai dengan sparring yang berujung pada cedera. Sempat berhenti berlatih untuk beberapa waktu namun mulai melakukan poomsae. Masuk pelatnas di 2010 dan berlanjut hingga sekarang.

 

Seperti apa hari-hari seorang atlet Taekwondo?

Bangun pukul enam pagi. Latihan pertama dimulai pukul delapan sampai sepuluh pagi. Istirahat lalu makan siang. Berlatih lagi sekitar pukul 14.30 selama dua jam. Istirahat lagi, lalu makan malam. Latihan dimulai lagi pukul delapan malam. Jadi tiap hari, kami berlatih selama tujuh hingga delapan jam. Pada dasarnya tidur, latihan, makan, istirahat, dan diulang terus.

 

Apa yang selalu menjadi motivasi terbesar Anda?

Membuat keluarga, teman, dan semua orang di sekitar saya bangga. Mereka sudah mendukung sejak awal dan saya tidak mau mengecewakan mereka.

 

Apa saja prinsip dalam Taekwondo yang Anda terapkan di kehidupan sehari-hari?

Disiplin dan menghormati orang lain, itulah hal utama yang dipelajari dari olahraga.

 

Apa momen terbaik yang pernah didapat sejauh ini selama menjadi seorang atlet?

Tentu saja mengibarkan bendera Indonesia ketika menang, dengan lagu “Indonesia Raya” diputar sebagai latar belakangnya yang akan selalu menjadi momen paling epik. Baru-baru ini, saya memenangkan emas pada gelaran Asian Indoor and Martial Arts Games di kota Ashgabat, Turkmenistan setelah sebelumnya hanya mendapat silver di SEA Games 2017. Jadi saya pikir ini semacam momen penebusan.